PERANG YANG TAK PERNAH DIMENANGKAN[1]
Kehidupan ini rasanya saru. Sebentar-sebentar kita bahagia. Lalu sedih. Kemudian bahagia lagi. Begitu seterusnya. Semua seperti fatamorgana. Tidak nyata. Serba “mungkin untuk tidak mungkin”.
Dunia dibentuk oleh peperangan yang tak henti-henti. Di sudut sejarah dunia mana pun, selalu ada sesajen daging, darah, dan nyawa. Dan semuanya berangkat dari satu keinginan yang brutal: menang.
Membaca sejarah kebiadaban manusia pada sesama manusia, hati rasanya disayat-sayat. Tak bisa dibayangkan apa jadinya bila saya hidup di suatu masa peperangan Nazi di Jerman.[2] Rasanya di masa itu langit diselimuti kelabu berhari-hari. Tak ada udara segar bagi rongga kehidupan. Setiap pojokan, rasanya hanya ada tumpukan manusia. Gelap. Mengerikan.
Tak ada harga bagi manusia. Semua hanya angka-angka. Biar pun bermiliaran lebih yang terbunuh. Misinya satu: memenangkan perang.
Napoleon Bonaparte hingga Hitler adalah pembaca karangan Nicollo Machiavelli (NM).[3] Buku karangan NM ini memuat tindakan-tindakan kerajaan (pemerintahan) dalam mempertahankan legacy. Bodohnya, buku yang semestinya menjadi pelajaran bagi pembaca untuk mengajukan kontra-narasi, malah dikembangbiakkan. Dan yang lebih menyeramkan, semakin membaca buku NM, orang akan merasa paling “melek politik” dan berhak membodohi yang lainnya.
Sampai di sini, peperangan dengan berbagai macam bentuknya adalah satu hal yang harus dilakukan, dan kemenangan adalah hal lain yang harus dicapai. Orang menganggap, kita tidak bisa hanya sekadar mengayun pedang dan mengacungkan pistol. Di gelanggang perang, semua pihak ingin menang.
Rasanya, kita tidak perlu melacak urusan “kemenangan” dalam perang. Sebab sudah banyak yang membicarakannya. Dari orang-orang di pos kamling sampai pejabat kaliber di tingkat global. Semua berebut “memenangkan” mulut dan pikirannya sendiri.
Belakangan saya berpikir untuk mengajukan satu hal yang tidak populer. Siapa yang berani tidak memenangkan peperangan?
Sepintas saya lalu mengetik ulang pertanyaan tidak populer ini di mesin pencarian google. Dan hasilnya mengejutkan: isinya perang yang ingin menang.[4]
Apa jadinya bila dunia yang dibuat Tuhan hanya jadi ajang taruhan? Apa jadinya kalau definisi hidup adalah soal kompetisi? Apa benar logika orang “hidup hanya soal dibunuh dan membunuh”?
Tiga pertanyaan tersebut mengitari pikiran saya selama bertahun-tahun. Terendap. Sumbang.
Saya yakin, bahwa sepintas, naluri manusia menuntut tubuh dan jiwanya untuk menang. Tetapi benarkah komposisi yang dibuat Tuhan melalui berbagai legacy di berbagai ajaran agama hanya untuk ini? Perang?
Kembali pada konteks pembicaraan kita: apakah ada yang berani tidak menang? Jawabannya, ada. Siapa beliau? KH. Abdurrahman Wahid.
Indonesia ternyata memiliki sejarah yang tidak populer dalam kacamata politik, tetapi peristiwa ini begitu amat mulia sekaligus mengundang derai air mata tak berkesudahan. Ya, Gus Dur berani tampil dengan celana pendek, dengan jiwa dan raga seorang negarawan untuk memilih melepaskan jabatan orang nomor satu.[5]
Ajaibnya, meski beliau kini bermukim di alam transendental, makamnya masih menjadi nomor satu: tak sepi peziarah. Dan ini peristiwa aneh. Bisa-bisanya, seorang yang telah menanggalkan kepopulerannya malah memenangkan perang. Buktinya, ia tetap jadi magnet magis bagi mereka yang kalap, dirundung kesedihan, diberandal kesengsaraan, dan berbagai suasana kebatinan lainnya. Artinya, belajar dari Gus Dur, “mereka yang memilih tidak-menang, justru yang ‘menang’ tanpa politisasi sama sekali”.
Gus Dur adalah seorang pemenang organik “yang tidak berebut menang”. Peristiwa ini cukup paradoksal. Di tengah gegap-gempita mimpi manusia untuk menang, masih ada beliau yang menjadi maklumat kehidupan; dengan jalan terakhir dikenang sebagai “pejuang kemanusiaan”.
Kembali pada konteks kehidupan kita yang saru. Mungkinkah kita dapat merasakan suatu kehidupan yang tentram tanpa terusik “peperangan”?
Rasanya bosan sekali menerima maklumat menjadi “kompetitor” sejak di bangku sekolah. Tanpa bermaksud menyalahkan sistem pendidikan yang menuntut menjadi juara kelas atau juara-juara lain, tetapi point yang ingin saya sampaikan adalah, mengapa orang menjadi “kuda” delman dan “dirudapaksa” untuk menang?
Istilah kuda delman kita gunakan untuk menggambarkan seorang yang ditutup matanya tetapi dipaksa terus berjalan tanpa tahu apa yang ia lewati. Kita terlanjur menjadi manusia kuda. Kita gagal menikmati kenyataan yang mengharu biru dan berlapis kebahagiaan itu. Ibarat orang menaiki motor, ia hanya tahu cara memacu gas tanpa mengerti cara menoleh kanan-kiri. Ini gambaran hidup yang kaku dan monoton.
Lalu istilah dirudapaksa merupakan sistem yang memaksa kita hidup tanpa mengerti cara “mendefinisikan” hidup. Akibat dari hidup yang kaku dan monoton, kita menjadi korban rudapaksa.
Maka untuk memungkas “perang yang tak berkesudahan”, saya akan mengutip ucapan Nyai Ontosoroh kepada Minke, “Kita telah melawan Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”[6]
[1] Penggalan teks dalam tulisan berjudul “Kritik untuk Jogja; Sebuah Cinta yang Tidak akan Dimenangkan” https://mojok.co/esai/kritik-untuk-jogja-sebuah-cinta-yang-tidak-akan-kita-menangkan/2/
[2] Dalam konteks yang lebih luas, Holocaust terjadi pada masa Perang Dunia II. Perang Dunia II adalah konflik terbesar dan paling merusak dalam sejarah. Adolf Hitler dan rezim Nazi memimpikan suatu kekaisaran baru dan besar untuk “ruang hidup” (Lebensraum) orang Jerman di Eropa timur dengan menyingkirkan penduduk yang sudah ada di wilayah itu. Tujuan Nazi adalah memperkuat “ras utama” Jerman. Hal ini berakibat pada persekusi dan pembantaian kaum Yahudi dan banyak lagi kelompok lainnya. Dikutip dari https://encyclopedia.ushmm.org/content/id/article/world-war-ii-in-europe.
[3] https://www.pinterpolitik.com/in-depth/il-principe-bukunya-napoleon-hingga-hitler/
[4] https://www.google.com/search?q=siapa+yang+berani+tidak+memenangkan+perang%3F&oq=siapa+yang+berani+tidak+memenangkan+perang%3F&aqs=chrome..69i57j33i160l3j33i22i29i30l6.6481j0j4&sourceid=chrome&ie=UTF-8
[5] https://nasional.tempo.co/read/1503450/hari-hari-terakhir-gus-dur-dilengserkan-bercelana-pendek-sapa-pendukungnya
[6] Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer.